Thursday, June 30, 2016

HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYIT

HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYIT

Berhubung masalah ini berkali-kali ditanyakan kembali oleh jama’ah, maka diedisi ini masalah ‘HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYIT’ kami muat kembali.

Ass. Ustadz bagaimanakah hukum menghadiahkan/mengirimkan  pahala bagi orang yang meninggal dunia ? Saya tahu bahwa hal ini telah menjadi area perbedaan pendapat, antara yang membolehkan dengan yang menganggapnya bid’ah. Selama ini,  penjelasan-penjelasan yang saya dapatkan mengenai permasalahan ini sangat subjektif, pasti memihak salah satu pendapat. Karena itu kami mohon penjelasan Al bayan.  Ahmad Rofi’i - Kaltim 

Jawaban :

Masalah pengiriman pahala kepada orang yang telah meninggal dunia, secara umum bisa dibagi menjadi tiga kategori. Yaitu :

1.    Mengirim doa bagi orang yang telah meninggal dunia.

2.    Mengirim pahala sedekah bagi orang yang telah meninggal dunia.

3.    Mengirim pahala bacaan Qur’an bagi orang yang telah meninggal dunia.

 Telah kita ketahui secara pasti bahwa para ulama telah berijma’ (sepakat)  yaitu apabila amalan-amalan seperti yang disebutkan  diatas dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya, maka ini  disyariatkan. Dan juga telah diketahui secara  pasti, hal tersebut diatas tidak boleh dilakukan seorang muslim kepada  orang kafir yang telah meninggal dunia. Dua hal ini sudah terang bagi kita,  yang masih remang-remang hukumnya adalah bagaimana bila hal tersebut dilakukan oleh seorang muslim kepada arwah muslim yang lain. Inilah yang akan kita bahas pada kajian kali ini,berikut penjelasannya :

1 & 2. MENGIRIM DOA DAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA.

Berdoa dan bersedekah yang diniatkan kebaikan pahalanya untuk mayit, telah menjadi ijma’(aklamasi)[1] seluruh para Salafush Shalih, dan imam kaum muslimin dari zaman ke zaman. Ijma’ ulama ini berdasarkan dalil-dalil yang shahih (kuat) dan sharih (jelas)  yang bersumber dari al Quran dan As Sunnah. Tidak ada yang menolak hal ini kecuali ia telah menyelisihi keyakinan yang telah disepakati oleh  para ulama dan kaum muslimin. KehujjahanIjma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali para pengikut hawa nafsu.

Dan mengenai konsensus ulama mengenai permasalahan ini, secara tegas dan lugas telah dijabarkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka diantaranya :

Imam Ibnu Katsir rah. dalam kitab tafsirnya berkata : “Adapun berdoa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash  syariat.” (Ibnu Katsir,7 /465)

Imam An Nawawi rah. Setelah menyebutkan rentetan hadits-hadits yang menjadi hujjah sampainya sedekah kepada mayit mengatakan: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu sampai kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan, semua ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/20.)

Imam Ibnu Taimiyah  rah. mengatakan :  “Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam kaum muslimin telah sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barangsiapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 5/466)

Beliau juga berkata : “Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Ibid)

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji rah. mengatakan: “Maka, Nabi Saw(Al Muntaqa’ Syarh al Muwatta’, 4/74) mengizinkan bersedekah darinya, hal itu diizinkan untuknya, karena sedekahnya itu termasuk apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya (kepada Allah).”

Imam Ibnu Qudamah rah. mengatakan:  “Amal apapun demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu.” (Al Mughni, hal. 567-569)

Imam Khathib Asy Syarbini rah. mengatakan:  “Sedekah bagi mayit  membawa manfaat baginya, wakaf membangun masjid, dan membuat sumur air dan semisalnya ..” (Mughni Muhtaj, 3/69-70) 

Imam Al Bahuti rah. mengatakan : Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Al Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya Bab Maa Yustahabu Liman Tuwufiya Fuja’atan An Yatashaddaquu ‘Anhu wa Qadha’i An Nudzur ‘anil Mayyit (Bab: Apa saja yang dianjurkan bagi yang wafat tiba-tiba, bersedekah untuknya, dan memenuhi nazar si mayyit).

Al Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit).

Al Imam An Nasa’I, dalam kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab: Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit)

Dan masih banyak lagi perkataan dan tulisan para ulama yang menjelaskan permasalahan ini, namun dari mereka kami rasa sudah cukup. Sebagai pelengkap, kami sertakan fatwa ulama su’udiyah berikut ini :

1.    Mantan Mufti Saudi Arabia- yang bernama   Syaikh Abdul Aziz Baz Rahimahullah –berfatwa: “Ada pun bersedekah dan berdoa bagi mayit kaum muslimin, maka  semua ini disyariatkan.” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, 1/89)

2.    Syaikh Muhammad bin Shalih ‘UtsaiminRahimahullah mengatakan: “Adapun sedekah buat mayit, maka itu tidak apa-apa, boleh bersedekah (untuknya).” (Fatawa Nur ‘Alad Darb, No. 44)

Dalil-dalilnya :

 Untuk selanjutnya, kita meneropong sepintas dalil-dalilnya yang menjadi hujjah pendapat ini dalam kitab dan As-Sunnah :

Al Qur’an surah al Hasyr ayat 10 : ”Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”

Dari Abu Hurairah ra. “Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw : “Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Saw menjawab: Ya.”(HR. Muslim)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, ia berkata :“Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Saw : “Sesungguhnya ibuku wafat  secara mendadak, aku kira dia punya wasiat untuk sedekah, lalu apakah ada pahala baginya jika aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: “Na’am (ya), sedekahlah untuknya.”(Mutafaqqun ‘alaih) 

Dari Sa’ad bin ‘Ubadah ra. Ia berkata : “Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat, apakah aku bersedekah untuknya? Beliau menjawab: Ya. Aku berkata: “Sedekah apa yang paling afdhal?” Beliau menjawab: “Mengalirkan air.” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Bahwa Nabi Saw pernah mendengar seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum. Nabi bersabda: Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”.(HR. Abu Daud)

PENJELASAN DALIL YANG SEPINTAS BERTENTANGAN

Lantas bagaimana hubungan hadits diatas dengan ayat yang menyatakan bahwa seseorang  tidak akan menaggung beban orang lain ? dan juga hadits Msyhur yang menyatakan amal anak adam terputus setelah ia meninggal dunia ?  Mari kita simak penjelasannya.

1.    Firman Allah surat an-najm ayat 39 :

“ … Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.

Penjelasan :

Mengenai ayat diatas seorang shahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama, yang pernah didoakan secara khusus oleh Nabi agar pandai menakwilkan al Qur’an yakni  Ibnu Abbas Ra. Berkata : “Ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya.’ (Tafsir Khazin, IV/213)

Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah sebagai berikut : “Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-thur :21)

Ibnu Taimiyah berkata dalam menfasirkan ayat diatas: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya. Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain.” (Majmu’ Fatawa, 24/366)

Berkata Iman Syaukani dalam kitabnya  :  (ayat) “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan. (Nailul Authar, IV/ 102)

2.            Hadits : ‘Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya’. (HR. Abu Daud)

Jawaban :

Dalam hadits tersebut tidak dikatakan inqata intifa’uhu (terputus keadaannya untuk mendapat manfaat) tetapi disebutkan inqata ‘amaluhu (terputus amalnya).

Adapun amalan orang lain (yang masih hidup) maka itu adalah milik orang yang mengamalkannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit, maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si mayit itu. (Syarh Thahawiyah : 456)

Kesimpulannya, bahwa berdoa dan bersedekah bagi arwah seorang muslimin baik yang dilakukan oleh anaknya ataupun bukan adalah masyru’ (disyariatkan), dan pahalanya akan sampai bila dilakukan dengan ikhlas.

3.    MENGIRIM PAHALA BACAAN QUR’AN BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

Untuk masalah yang ketiga ini, ulama berselisih pendapat. Masing-masing memiliki dalil dan hujjah yang sulit dipatahkan begitu saja. Dan tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah kita pegang selama ini. Bila kita tentram dan merasa pas dengan salah satu pendapat,jangan lantas diiringi dengan caci maki kepada yang berbeda pendapat. Karena bagaimanapun yang mereka ikuti juga adalah para ulama yang telah diakui kehujjahannya dalam dunia islam.

A.   Ulama Yang Berpendapat Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal

Pendapat ini didukung oleh para ulama dari berbagai mazhab diantaranya :

Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah  Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat3/16, disebutkan demikian:  Dari  Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka  surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut.

Imam Ahmad bin Hambal rah. dan Imam Ibnu Qudamah rah.

Pendapat Ini telah masyhur diketahui sebagai pendapat imam Ahmad dan  ulama-ulama mazhab Hanbali, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran untuk orang sudah meninggal. Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:  Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran ( surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Syarh Al Kabir, 2/305).  

Imam Al Bahuti juga mengatakan: Imam Ahmad mengatakan, bahwa  semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)

Imam Asy Syaukani rah.

Telah ada  perbedaan pendapat para ulama, apakah  ‘sampai atau tidak’ kepada mayit,  perihal amal kebaikan selain sedekah?   Golongan  mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen).  Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad  Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. (Nailul Authar, 4/92)

Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i rah.

Beliau berkata : Ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i, yaitu surah An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.”  Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukhpen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..”  maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547) (dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya,

Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi  dan Imam KamaluddinRahimahumallah

Beliau berkata : “Yang paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam, bahwa ayat itu (surah An Najm ayat 39)  tidak termasuk  larangan menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Al Bahrur Raiq,  3/84)

Demikian juga Dalam kitab Fathul Qadir –nya ImamIbnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair, beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu telah sampai secara mutawatir  (diceritakan banyak manusia dari zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Fathul Qadir, 6/134).

Imam Al Qarrafi Al Maliki rah.

Beliau mengatakan, “Yang nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih. (Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)

 Imam Ibnu Rusyd Al Maliki rah.

 Dalam An Nawazil-nya, Ibnu Rusyd mengatakan:“Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan sampai juga kepadanya manfaatnya.” (Syarh Mukhtashar  Khalil, 5/467)

Husain bin Mas’ud al-Baghawi rah.

Beliau adalah pengarang kitab tafsir al Khazin, ketika menjabarkan tentang tafsir surah an-Najm ayat 39, beliau memilih pendapat yang mengatakan sampainya bacaan Qur’an bagi orang meninggal dunia. ( Tafsir Khazin,4/213)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rah.

Di dalam kitab fenomenal beliau majmu’ Fatawa, beliau berkata: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.” (Majmu' Fatawa, 24 /315-366)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i rah.

Dalam kitabnya beliau mengatakan “Hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya Al Quran adalah lebih utama. (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371)

Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i rah.

Beliau membolehkan membaca Al Quran untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i lainnya menyatakan itu sunah. (Nihayatul Muhtaj, 2/428)

Syaikh Sayyid Sabiq rah.

Penjelasan beliau yang mendukung pendapat  ini bisa kita temukan dalam kitab fiqihnya yang fonumenal  Fiqhus Sunnah, juz 1 pada halaman 386.

Jumhur Ulama al Azhar Kairo

Membaca surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya.(Fatawa Al Azhar, 8/295)

B.   Ulama Yang Berpendapat Tidak Sampainya Bacaan Qur’an Kepada Orang Meninggal

 Imam Abu Hanifah rah. Dan jumhur pengikut mazhab Hanafi

Keterangan pendapat al Imam Abu Hanifah dan para ulama kalangan Hanafi yang menganggap bahwa pengiriman pahala kepada orang yang meninggal tidak ada syariatnya.  ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8)

Imam Malik rah. dan sebagian pengikutnya

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullahmengatakan dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu2/599.  : Berkata  kalangan Malikiyah: dimakruhkan membaca Al Quran baik ketika naza’ (sakaratul maut) jika dilakukan menjadi kebiasaan, sebagaimana makruh membacanya setelah wafat, begitu pula di kubur, karena hal itu tidak pernah dilakukan para salaf (orang terdahulu).

Disebutkan dalam Al Mausu’ah 16/8 : “Menurut Malikiyah, dimakruhkan secara mutlak membaca apa pun dari Al Quran untuk mayit.”

 Imam Asy Syafi’i rah.,Imam Ibnu Katsir rah. Dan jumhur mazhab Syafi’I Mutaqadimin (terdahulu)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah: “Dan pendapat Syafi’iyah bahwa tidaklah dibaca Al Quran di sisi mayit.”  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/8.)

Dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim  pada juz ke- 7 halaman 465, Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan Surat An Najm ayat 18:  “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Beliau berkata : “Sebagaimana dia tidak memikul dosa orang lain, begitu pula pahala, ia hanya akan diperoleh melalui usahanya sendiri. Dari ayat yang mulia ini, Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan pengikutnya berpendapat bahwa pahala bacaan Al Quran tidaklah sampai kepada orang yang sudah wafat karena itu bukan amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Saw  tidak pernah menganjurkannya dan tidak pernah memerintahkannya, dan tidak ada nash (teks agama) yang mengarahkan mereka ke sana , dan tidak ada riwayat dari seorang sahabat pun yang melakukannya, seandainya itu baik tentulah mereka akan mendahului kita dalam melakukannya.”

Namun, dalam kitab Riyadhus ShalihinImam An Nawawi justru mengatakan hal yang sebaliknya, yaitu beliau mengatakan bahwa Imam Asy Syafi’i menganggap sunnah membaca Al Quran di sisi kubur, jika sampai khatamNamun yang masyhur (terkenal) dari Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya adalah mereka menolak keyakinan sampainya pahala bacaan Al Quran ke mayit. (lihat Nailul Authar, 4/142) maka itu bagus.  

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah rah.

Murid syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ini berbeda pandangan dengan gurunya dalam hal ini, beliau mengatakan : “Dan bukanlah petunjuk Rasulullah Saw berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menghibur, lalu membaca Al Quran untuk si mayit baik di kuburnya, atau di tempat lain. Semua ini adalah bid’ah yang dibenci.” (Zaadul Ma’ad, 1/527)

Imam Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rah.

Keterangan beliau mengenai hal ini kita temukan dalam kitab Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, karangan Syaikh Shalih Fauzan, : “Sesungguhnya  membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan.”   

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.    Ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa doa dan sedekah dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia adalah masyru’ (disyariatkan).

2.    Ulama berbeda pendapat mengenai masyru’iyahnya bacaan Qur’an dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia.

Untuk poin yang pertama sikap kita jelas, yakni kita tidak boleh menolak dan mengingkari doa dan sedekah kepada mayit, karena kita tidak boleh mengingkari ijma’ ulama.  Adapun untuk poin kedua, bagaimana kita menyikapinya ? Tidak ada sikap yang lebih arif dan hanif (lurus) dalam masalah khilafiyah selain menghormati pendapat yang berbeda dengan diri kita. Kita harus menghormati saudara kita yang mengganggap bahwa hal ini ada syariatnya, dan apabila diundang, maka hadirilah demi menyatukan kalimat. Adapun bila  menemukan penyimpangan-penyimpangan dalam praktek ini luruskanlah dengan hikmah, tidak perlu gusar apalagi dengan kata-kata dan prilaku kasar. Karena perlu kita ingat, umat ini begitu awam, jangankan dalam masalah yang diperselisihkan- untuk masalah yang sudah qath’I (pasti) saja-  mereka sangat susah di ajak untuk menyempurnakan sunnah, misalnya saja merapikan dan merapatkan shaf ketika shalat berjama’ah.

Sebaliknya, kita yang berpendapat bahwa pengiriman bacaan Qur’an disyariatkan, janganlah pula mudah menvonis dan melemparkan tuduhan. Seperti memberikan cap Wahhabi kepada muslim lainnya yang tidak mau membaca Al Quran untuk mayit. Apakah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i adalah Wahabi karena memegang pendapat ini? Bagaimana mungkin mereka disebutWahabi, padahal gerakan Wahabiyah baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini!?

Sudah saatnya umat islam bersikap dewasa dalam masalah ini, terlalu banyak kerja besar dengan manfaat  yang lebih besar dari sekedar mengurusi masalah yang justru mengundang masalah baru.

Mungkin ada jalan tengah yang bisa kita tempuh untuk untuk menjembatani perselisihan ini, yakni semua ulama sepakat (ijma’) bahwa berdoa untuk sesama muslim, baik masih sehat, orang sakit, sakaratul maut, dan orang yang sudah meninggal adalah dibolehkan. Maka, bagi yang tetap ingin mengirimkan pahala membaca Al Quran, sebaiknya ia lakukan dalam bentuk doa saja, setelah membaca Al Quran: “Ya Allah, jadikanlah bacaan Al Quranku tadi sebagai rahmat bagi si fulan, dan berikanlah pahalanya bagi si fulan.”[2] Inilah cara yang ditempuh oleh sebagian ulama untuk menengahi dua arus pemikiran ini. Jadi, tidak cukup membaca Al Quran lalu diniatkan untuk si mayit, tapi ia berdoa kepada Allah Ta’ala semoga pahala bacaan Al Qurannya disampaikan untuk si mayit.

Penutup:

Demikianlah adanya fiqh, dalam berbagai hal selalu memiliki celah adanya khilafiah termasuk dalam masalah ini. Sebenarnya masalah yang ditimbulkan dari sebab khilafiah agama, dengan adanya perseteruan bahkan permusuhan ditubuh umat islam, bukanlah karena sebab khilafiahnya -  karena perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukanlah  dosa - tetapi masalah itu lebih disebakan pada sikap kebanyakan kita  yang kurang bijaksana dalam menyikapinya.

Khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani  atau ditanggapi dengan sewot dan emosi, karena ia adalah sebuah kewajaran yang manusiawi. Selama perbedaan itu masih dalam koridor al Quran dan sunnah, dan ditelurkan oleh para ulama yang telah diakui keilmuan dan keimanannya.  Tidak sepantasnya kita bersikap memusuhi dan sok menghakimi. Padahal kapasitas kita tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum. Sikap sinis, skeptis dan mudah menvonis tersebut jelas diharamkan, apalagi  merasa diri paling benar dan mulia, jelas ini prilaku yang nista dan tercela. Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh mereka ahli bid'ah, sesat, hanya lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya dengan apa yang kita pikirkan.

Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang jahil dan berjiwa kerdil.

“Setiap kalian beramal dengan kesanggupannya, dan Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang paling benar jalannya.” (Al-Isra :84)

Wallahu a’lam bisshawwab.

Al Faqir Ilallah :  Ahmad

[1] Kehujahan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin)

Berkata  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:  “Ijma’ telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi, ahli hadits, dan ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang mengingkarinya adalah sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa, 3/6)

Al Imam  Al Hafizh  Al Khathib Al Baghdadi   berkata : “Ijma’ (kesepakatan) ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya". (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)

 Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:  “Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para pengingkar ijma’ merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296.)

Dan Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikutiijma’, dan bagi penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, yakni dalam firmanNya : “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa : 115)

Dan dalam hadits Nabawi kita temukan :  “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan  umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi)

[2] (lihat Syarh Mukhtashar Khalil, 5/468, Lihat pula kitab I’anatut Tahlibin,3/24, Tuhfatul Muhtaj Jilid 7/74,  Fathul wahhab , 2/19 dan  Hasiyatul Jamal, 4/67).

Followers